Pernah mendengar istilah upholstery? Dalam bahasa Inggris kata tersebut berarti bahan pelapis. Heran juga mengapa istilah ini tidak punya padanan kata dalam bahasa Indonesia. Padahal bendanya sendiri sangat akrab dikenal di sini.
Beberapa perabot yang biasa ada dalam rumah seringkali memiliki pelapis dari bahan kain, kulit, atau kulit sintetis (seperti vinyl). Sofa, misalnya, biasanya terbuat dari rangka kayu atau besi yang diberi busa sebagai bantalan atau pengempuk. Busa ini kemudian dibungkus oleh pelapis. Contoh lainnya, misalnya kursi makan atau arm chair (kursi berlengan) yang terbuat dari kayu, seringkali bagian tempat duduknya diberi bantalan yang dibungkus pelapis. Pelapis inilah yang disebut upholstery.
Istilah upholstery hanya digunakan untuk pelapis yang menempel secara permanen pada furnitur. Kain yang dibentuk dan digunakan untuk pelapis tambahan bagi kursi, yang sifatnya tidak permanen, tidak lagi disebut upholstery, melainkan slip cover. Karena itu biasanya mengganti upholstery lebih sulit dibandingkan sekadar mengganti slip cover.
Menurut sebuah sumber, upholstery sudah ada sejak dahulu. Bahan yang pertama kali digunakan ketika itu adalah kulit. Inggris mengembangkan upholstery pada jaman pemerintahan Elizabeth. Sementara Italia sudah mengenal pelapis beludru dan sulaman pada jaman Renaissance.
Saat ini bahan upholstery sangat beragam, bisa kain pabrik, kain tenun, kulit, kulit sintentis, bulu, serat, plastik, bahkan bahan-bahan alami seperti eceng gondok atau tikar. Pilihan motif dan warna untuk kain juga sangat bervariasi. Anda bisa menggunakan upholstery sebagai penguat tema atau suasana ruangan secara keseluruhan. Misalnya, motif bunga-bunga kecil dengan sulur-sulur bisa memperkuat tema klasik, atau, motif kotak-kotak untuk memperkuat tema country.