Portfolio Kami

Lihat sekarang untuk ide kantor kamu
Kunjungi Gudang Pengadaan
Kategori
Portfolio kami, intip sekarang yuk
Buat ruang impian kamu sendiri,konsultasi gratis
Kunjungi merchant kami Gabung jadi merchant? daftar disini
FAQ
Tentang Kami
ada chaskback 50rb jika transaksi melalui aplikasi
Gabung Merchant Bersama Kami
Back
Masukan kode OTP

Daftar ? isi dulu

Daftarkan dengan,
ex: 0811737../person@mail.com
Isi Nama kamu,
Lanjut daftar
Masukan Password
Daftar
Masukan kode OTP
Daftar
X

Setting Ulang Password

Sub Kategori

Social Media: Make Peace, Not War

Di era modern seperti saat ini, Gudang Furniture menelaah bahwa media sosial seakan memiliki peran ganda yang sangat kontradiktif–bisa membawa dampak positif, pun bisa melahirkan efek negatif. Manakah yang akan Anda pilih? 

Beberapa waktu lalu, ketika Indonesia tengah dilanda duka–yakni bencana gempa bumi yang terjadi nyaris berurutan di beberapa daerah di Nusantara–media sosial menjadi salah satu penyebar informasi yang efektif, mengingat sifatnya yang “ringan”, dan bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat.

Yes, news travel faster with social media. Mendadak, semua mata tertuju pada akun media sosial yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. Sebutlah saja, akun twitter @infoBMKG menjadi sorotan netizen tanah air, ataupun akun-akun media sosial portal berita seperti Detik, Kompas.com, hingga Liputan6.

Seluruh khalayak pun bisa menyampaikan ucapan simpatinya pada para korban bencana gempa melalui media sosial. Bahkan, penggalangan bantuan dana pun bisa dipublikasikan lewat beragam platform media sosial.

Hal ini seakan menjadi bukti, bahwa media sosial bisa membantu kita “mempersempit” jarak, ruang, dan waktu.

Fenomena “Perang” dan Akun Bodong di Media Sosial

group-of-friends-with-folded-arms-standing-on-pink-background_23-2147849615.jpg

Ada kelebihan, ada pula kekurangannya. Di luar segala sisi positif yang bisa kita dapatkan dari media sosial, ternyata jejaring yang mempertemukan berbagai macam manusia dari beragam kalangan ini juga memiliki dampak negatifnya tersendiri.

Salah satu fenomena negatif yang terjadi di media sosial adalah mudahnya terjadi “perang” dalam dunia maya hanya karena pengekspresian pendapat yang kebablasan. Pasalnya, kebebasan berkomentar di dunia maya seakan tak mengenal batasan. Setiap orang bebas mengunggah kata-kata yang terlintas di pikirannya, baik saat meng-update status di media sosial, ataupun berkomentar pada unggahan orang lain.

Bahkan, dengan perkembangan kecanggihan teknologi dan tanpa peraturan yang jelas seputar media sosial, banyak sekali akun bodong yang beredar di media sosial, dengan tujuan menyebarkan berita-berita negatif, berkomentar sarkas dan bersifat menjatuhkan pihak-pihak tertentu.

Kebanyakan, akun bodong ini berperan sebagai penyulut api, sebagai provokator yang akan menghembuskan kepulan “asap” yang memanaskan suasana yang sudah “gerah”.

Dan, hebatnya, peranan akun bodong ini lah yang sering menjadi pencetus “perang” di media sosial. Ketika komentar negatif diunggah oleh para akun bodong, biasanya “asap” tersebut akan menghampiri para netizen berpikiran sempit yang akan dengan mudahnya ikut berkomentar penuh sarkasme.

Dengan cepat, “perang” di media sosial akan terjadi secara sengit. Adu komentar dan debat pro kontra akan terlontarkan, bahkan tak banyak yang mengeluarkan pendapatnya secara kebablasan, dengan bahasa-bahasa yang tak pantas diucapkan oleh masyarakat yang menamai dirinya “bangsa timur” yang penuh sopan santun dan tata krama.

Ke manakah etika kalian, dear Netizen yang budiman?

“Perang” dalam Segala Topik Bahasan

horse-killing-queen_1160-467.jpg

Satu hal yang membuat miris adalah fenomena “perang” media sosial ini bisa terjadi dalam segala topik bahasan, mulai dari isu politik yang sedang panas menjelang Pemilu pilpres di tahun 2019; perdebatan tentang tim olahraga favorit; isu dunia hiburan seputar pro kontra selebriti yang diduga “pelakor”; hingga perdebatan tentang musisi idola siapakah yang paling hebat, paling keren.

Dan, yang lebih menyedihkan lagi, tak jarang, akibat terprovokasi, komentar buruk yang tak pantas keluar dari jemari para pemilik akun yang terlihat masih di bawah umur, atau bahkan berpenampilan sopan dan tampak seperti netizen yang “baik-baik”.

Bahkan, jika lambat laun dibiarkan, peperangan dari media sosial pun bisa berdampak pada kehidupan nyata, karena semua orang terlihat “bablas” berpendapat, “bablas” beropini, “bablas” hingga mengata-ngatai dan melakukan tindak cyber-bullying.

Komentar dan Emosi Negatif = “Lintah” Bagi Energi Psikis Manusia

nervous-people-office-frustrated-angry_1150-1694.jpg

Dilansir dari Kumparan.com, penelitian yang dilakukan oleh beberapa orang dari Northeastern University, University of California, dan Harvard Medical School mengemukakan hasil penemuan tentang kondisi naluriah manusia yang lebih tertarik pada gosip-gosip negatif.

Tak heran, dengan segala kemudahan yang ada, netizen akan lebih senang mengritik dan membuat “perang” daripada menjalin relasi damai dalam media sosial.

Namun, ternyata, komentar sarkas yang biasanya berawal dari rasa iri, dengki, amarah, dan ketidakpuasan ini bisa berdampak buruk juga bagi keseharian kita, lho!

Pasalnya, dikutip dari Liputan6.com, seorang pakar mind technology, Adi W Gunawan CCH, bahwa iri, dengki, marah, dan tidak puas merupakan beberapa jenis emosi negatif yang bisa ditemukan dari dalam diri manusia. Dan emosi-emosi negatif ini bisa memakan habis energi psikis kita, lho!

That’s why, setelah kita melontarkan emosi negatif, rasanya hidup kita nggak tenang, kondisi tubuh pun jadi nggak enak, kan?

Damai Bermedia Sosial, Nggak Salah, Kok!

group-of-friends-standing-near-the-wall-texting-on-mobile-phone_23-2147841171.jpg

Memang, kini, media sosial menjadi media propaganda terbaik untuk “mencuci” otak para pemakainya, untuk mengundang perpecahan yang mudah meledak hanya karena perdebatan bermodal unggahan negatif.

Sebenarnya, fungsi awal dari media sosial ini sendiri adalah untuk menambah wawasan dan menjalin relasi baru dari berbagai pelosok tanah air, bahkan dunia, bukan? Ingatkah Anda akan kemunculan awal-awal dari media sosial? Bermula dari Myspace, Friendster, Live Connector, Facebook, Path, Snapchat, hingga Instagram; semua memiliki konsep yang serupa–menambah jejaring relasi yang luas.

Selain itu, unggahan ke media sosial yang secara tak langsung mengundang netizen yang bertautan mengklik tombol “like” dalam unggahan tersebut, ternyata menjadi bukti bahwa sang empunya media sosial ingin menemukan relasi yang sama-sama menyukai hal tersebut. Semacam pencarian eksistensi diri dan juga jejaring pertemanan dalam satu “ruang” selera yang sama.

Nah, nggak ada salahnya lho bila kita berangkat dari definisi semula media sosial: media untuk menjalin pertemanan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya.

happy-young-woman-holding-love-and-instagram-icon_23-2147849431.jpg

Tentunya, hal itu harus diiringi oleh sikap bermedia sosial yang santun dan bijak. Bijak berpendapat, tentunya dengan ucapan yang masih sesuai tata krama, tidak menyebar hoax, serta tidak kebablasan berpendapat yang akan menebar benih kebencian.

Lebih bagus lagi, jika kita berusaha berbagi ilmu dan wawasan positif dalam akun media sosial kita, lho! Anda juga bisa mengikuti berbagai project sukarela yang bisa Anda ikuti tiap harinya sesuai topik yang Anda sukai. Meskipun tak berbayar, tetapi relasi pertemanan baru menjadi “hadiah” yang tak akan terasa sia-sia, bukan?

Bisa juga mengikuti akun-akun penuh edukasi dan manfaat seperti akun instagram milik Gudang Furniture –> @gudangfurniture_id yang dipenuhi tips, trik, dan konten-konten keren berkaitan dengan furniture, desain, dan dunia kerja.

So, in this case, which one will you choose for your social-media life: making peace or making war?


Tags :

Recent Posts

WhatsApp