Tentang “Ilmu” Berempati
Empati adalah salah satu hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia ini. Setidaknya, itulah yang Gudang Furniture pikirkan. Bagaimana pendapat Anda?
Pagi itu, ketika hari sedang tak terlalu mendung untuk eksistensi irama sendu, sebuah lagu dari duo folk Banda Neira seakan terlantun dalam telinga saya.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, yang hancur lebur akan terobati, yang sia-sia akan jadi makna dan terus berulang suatu saat nanti. Yang pernah jatuh, ‘kan berdiri lagi. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.
Pada saat yang bersamaan, saya pun membaca berita yang meluncur ke layar ponsel pintar saya tentang satu hal yang memilukan hati: tsunami kembali menerjang Indonesia–tepatnya di Anyer Banten dan Lampung–dan menelan ratusan korban. Beberapa di antaranya adalah sosok publik figur yang akrab di layar kaca, yakni beberapa personil band Seventeen dan komedian Aa Jimmy.
Entah kenapa, perasaan seakan tercampur aduk jadi sebuah rasa pahit yang menyakitkan. Hal itu membuat saya kerap melihat perkembangan beritanya setiap hari.
Semoga Tuhan memberi segala yang terbaik bagi para korban, batin saya bergumam demikian.
Saya tahu, saya tak sendiri. Sebagian besar masyarakat Indonesia pun (pasti) merasakan hal yang sama. Tingkat empati yang tinggi membuatnya peduli terhadap apa yang telah terjadi pada para korban bencana ini. Terbukti dengan mengalirnya ucapan doa dan belasungkawa yang ditujukan pada para korban dan keluarganya, khususnya di linimasa media sosial.
Satu hal yang disayangkan, dengan begitu mudahnya komentar dan berita diunggah ke dunia maya, ada beberapa oknum berpikiran pendek yang melontarkan pernyataan yang tak seharusnya dikemukakan, mulai dari anggapan dikait-kaitkannya musibah dengan kehidupan politik, dan juga tersebarnya foto korban yang tidak semestinya disebarluaskan.
Where’s your attitude, dear people?
Apa Itu Empati?
Bisa dikatakan, hal-hal tersebut terjadi karena minimnya rasa empati pada beberapa kalangan masyarakat, sehingga banyak orang yang bersikap apatis terhadap apa yang telah terjadi dalam lingkungannya. Meskipun peduli, seringkali oknum-oknum tersebut hanya bisa berpikiran negatif lantas melontarkan komentar pedasnya tanpa pikir panjang.
Lantas, apakah yang dimaksud empati?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi dari empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Dengan kata lain, empati berarti kemampuan seseorang untuk peduli pada keadaan sesamanya, memahami kondisi emosional orang lain, dan memiliki keinginan untuk berbagi.
Darimanakah seseorang mendapatkan kemampuan berempati? Apakah kemampuan tersebut sudah “mendarah daging” sejak seseorang lahir?
Dilansir dari Kompas.com, sebuah studi yang pernah dilakukan mengenai genetika dasar empati, ternyata hanya terdapat 10% variasi gen yang berkaitan dengan pemahaman akan kondisi emosional orang lain. Ternyata, sikap empati ini justru “ditularkan” oleh lingkungan dan pola asuh keluarga.
Bahkan, banyak studi yang menyatakan, bahwa kurangnya empati pada seseorang disebabkan oleh minimnya kasih sayang yang didapatkan orang tersebut di masa kecilnya.
Berarti, bisa jadi oknum-oknum tersebut bukannya kurang piknik. Mereka hanya kurang kasih sayang. Dan hal itu berdampak pada kehidupan jangka panjangnya: mereka tak bisa berempati.
Bagaimana Bentuk Empati di Era Modern?
Mungkin, tak semua orang yang berperilaku negatif ketika bencana mendera merupakan orang-orang yang tak memiliki rasa empati. Mungkin, sebenarnya, hal itu merupakan bentuk kepedulian mereka terhadap sesama.
Namun, sayangnya, mereka salah mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya ketika berkaitan dengan unggahan di media sosial. Alih-alih menunjukkan rasa peduli atau meringankan rasa duka yang diderita keluarga korban, banyak unggahan gegabah di media sosial yang justru menambah luka.
Sebenarnya, ada beberapa cara tepat yang bisa kita lakukan untuk berempati dalam era modern ini. Apa saja?
1. Memandang Permasalahan dari Beragam Pihak
Membiasakan diri bersikap empati berarti melatih diri untuk melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang, tak hanya dari sudut pandang kita sebagai seorang pengamat saja, atau hanya mengambil sudut pandang tentang hal-hal yang bersifat negatif saja.
Misalnya, seperti cerita yang terjadi beberapa tahun lalu, tentang seorang perempuan muda yang mengata-ngatai dan berkomentar negatif dalam media sosial tentang seorang ibu hamil yang tiba-tiba duduk di kereta.
Cobalah Anda memandangnya sebagai pihak netral dan tidak menghakimi salah satu yang terkait konflik tersebut. Bahkan, ada baiknya bila Anda memilih menjadi seorang pendengar, daripada seorang komentator, yang hanya akan memanas-manasi suasana.
2. Menempatkan Diri Menjadi Orang Lain
Tak jarang, seseorang merasa bahwa dirinya merupakan pusat alam semesta, sehingga ia tak punya waktu untuk memikirkan posisi dan kondisi orang lain.
Alhasil, jika sikap egosentris–demikian istilahnya–tetap berkubang dalam diri kita, maka kita akan menjadi seseorang yang tak mengenal toleransi dan cenderung apatis. Bahkan, jika sikap seperti ini bisa kita “tularkan” pada keluarga dan keturunan kita, lho.
Sebagai makhluk sosial, tak ada salahnya bila kita belajar menempatkan diri dalam posisi orang lain, khususnya dalam posisi saudara-saudara kita yang sedang mengalami musibah dan kesulitan.
3. Berhati-hati Mengunggah Informasi ke Media Sosial
Informasi mengalir deras dalam dunia maya, baik itu fakta ataupun hanya hoaks semata. Media sosial berperan besar dalam menjadi penyalur berita ke khalayak luas secara cepat.
Poin plusnya, media sosial membuat kita mengetahui berita secara instan, tanpa harus mencarinya dari portal berita. Namun, sisi negatifnya, banyak orang yang kurang mengerti etika dalam bermedia sosial, khususnya bila terjadi musibah dan kecelakaan.
Contohnya, seperti yang sudah disebutkan di atas, banyak orang yang berlandaskan toleransi, menyebarkan foto-foto memilukan kondisi korban musibah pada grup chat ataupun media sosial.
Tak hanya itu, banyak juga yang mengunggah informasi hoaks yang bersifat provokatif, walaupun itu berkaitan dengan musibah, bencana, dan kecelakaan.
Coba berpikir panjang, apakah yang akan dirasakan keluarga korban bila melihat unggahan tersebut? Alih-alih meringankan beban, bukankah unggahan tersebut hanya akan memperdalam luka yang telah ada?
Let’s be smart, people…
4. Menjaga Lisan dan Tulisan dalam Berkomentar
Seperti yang pernah kami kisahkan dalam unggahan blog kami sebelumnya, banyak sekali oknum yang mudah berkomentar negatif, tak hanya secara lisan, namun juga bisa viral dengan mudahnya dalam dunia maya. Ingat, sekali Anda mengunggahnya dalam dunia maya, maka komentar tersebut tak bisa terhapus selamanya dari jejaring tersebut.
Bahkan, pernahkah Anda berpikir, sependek dan sesepele apapun komentar negatif Anda dalam sebuah unggahan, hal tersebut bisa menyakiti hati sang pengunggah, ataupun orang-orang yang berkaitan dengan unggahan tersebut?
Jika ada istilah “mulutmu harimaumu”, begitu pula dengan eksistensi jemari dan keypad dalam ponsel pintar Anda. Jagalah perkataan Anda lewat tulisan di media sosial, agar sikap empati yang Anda miliki bukanlah hanya teori semata.
***
Nggak susah, kok, menjadi orang yang dipenuhi rasa empati tinggi! Karena, pada dasarnya, manusia merupakan sosok makhluk sosial, bukan?
Be social, be kind, be nice to other person, won’t you?